Pembuktian adanya proses spesiasi dalam Suku Myrtaceae tidaklah mudah karena anggotanya cukup banyak, terdiri dari 140 marga dan beberapa ribu jenis tumbuhan (Kenneth et al., 2000). Di samping itu proses ini dapat memakan waktu yang sangat panjang sampai ratusan bahkan ribuan tahun. Dari sini timbul pertanyaan apakah spesiasi yang demikian lambat juga dapat dibuktikan terjadi pada anggota Myrtaceae? Sementara bukti berupa fosil sangat terbatas. Salah satu cara membuktikan adanya proses spesiasi adalah dengan analisis filogeni yaitu suatu analisis tentang sejarah evolusioner dari suatu jenis atau takson lainnya. Penggunaan pengurutan DNA, cpDNA, ITS, gen kloroplas ndhF, dan allozyme, dapat membuktikan terjadinya spesiasi pada berbagai jenis anggota Myrtaceae ini. Penelitian semacam ini telah banyak dilakukan di Australia karena benua ini merupakan salah satu pusat persebaran Myrtaceae di dunia (Biffin, 2005).
Dari beberapa kajian dan penelitian tentang Myrtaceae di Australia dan beberapa Negara lain ternyata menunjukkan bahwa fenomena spesiasi ini memang terjadi. Beberapa contoh spesiasi telah diketahui dan dibuktikan dengan berbagai cara baik penelitian secara morfologis, anatomis, maupun pada tingkat molekuler. Pengetahuan tentang spesiasi pada Myrtaceae ini penting agar kita dapat memprediksi masa depan dari golongan tumbuhan ini, apakah dapat bertahan atau punah. Jika kepunahan lebih dominan, maka kita harus segera melakukan konservasi. Saat ini masih sedikit laporan tentang spesiasi pada Myrtaceae di Indonesia, kebanyakan laporan berasal dari Australia.
Contoh fenomena spesiasi adalah yang terjadi di Australia dan New Zealand. Telah terbukti bahwa penggunaan teknik filogenetik menggunakan marker DNA dapat membantu memecahkan masalah genera di New Zealand, tetapi setelah dibandingkan dengan penggunaan teknik taksonomi tradisional, masih sering terjadi kekurangan variasi untuk memecahkan kompleks spesies tersebut. Penelitian ini menunjukkan dukungan yang kuat bagi pendapat bahwa seksi Salisia (Kunzea baxteri K. pulchella) dan Leptospermoides (terdiri dari kompleks K. ericoides), berbeda dengan seksi Kunzea (K. capitata dan jenis lain dari Australia Timur). Selain itu jelas bahwa jenis dari Australia dan New Zealand dari kompleks K. ericoides walaupun berkerabat dekat, tetapi masing-masing berbeda.
Namun demikian penelitian dengan pengurutan ITS tidak membantu memecahkan masalah perbedaan morfologis antara jenis pada kompleks Kunzea. Hal ini bukan tidak umum dalam flora of New Zealand merupakan dukungan lebih lanjut bagi pendapat bahwa spesiasi pada sebagian besar flora di New Zealand telah terjadi (Lange et al. 2002). Bukti spesiasi lain adalah hasil penelitian tentang cpDNA di Tasmania dan Australia daratan. Klororoplas DNA dari Monocalyptus lebih bervariasi daripada di Tasmania yang secara filogenetik berhubungan dengan cpDNA di Victoria Tengah dan Barat. Empat di antara enam jenis di Tasmania polimorfik. Variasi tingkat cpDNA yang rendah dan interdegradasi morfologis yang luas di antara endemik di Tasmania menunjukkan spesiasi. Namun demikian, transfer cpDNA melalui hibridisasi adalah penjelasan yang paling memadai bagi sharing cpDNA dalam series tersebut (McKinnon et al. , 1999).
Hasil analisis filogenetik pada Myrtaceae menggunakan gen kloroplast ndhF yang berevolusi dengan cepat menunjukkan bahwa Myrtoideae sebagian besar monofiletik dan maju. Porsi kerabat Metrosideros biasanya mendasar dalam Myrtaceae. Derivasi dari buah berdaging telah terjadi lebih dari satu kali. Demikian juga, evolusi dari mahkota bunga yang mencolok dan mekarnya “sikat botol” menandai konvergensi atau paralelisme, suatu bentuk evolusi yang menghasilkan organisme berbeda, secara independen menurunkan persamaan bentuk (Kenneth et al. , 2000). Hasil penelitian marga Eremaea anggota Myrtaceae berupa semak berkayu di Australia dengan menggunakan variasi allozyme pada 15 lokus polimorfik menunjukkan bahwa sebagian besar variabilitas genetik dalam Eremaea sp. disebabkan oleh perbedaan-perbedaan dalam populasi daripada antar populasi (Coates dan Hnatiuk, 2005). Data allozyme mendukung studi morfologis yang mengindikasikan lima kelompok jenis atau kompleks. Dari 159 pasangan kombinasi yang mungkin di antara 19 taksa dengan perbedaan morfologis, 15 di antaranya menunjukkan sedikit divergensi allozyme.
Tidak adanya perbedaan allozyme berhubungan dengan spesiasi yang cepat atau berhubungan dengan hibridisasi introgresif atau penyebaran gen dari suatu jenis ke dalam jenis lain akibat hibridisasi. Berdasarkan data allozyme, brevifolia x violacea dapat berasal dari hibrida asli atau berupa hibrida turunan. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa hibridisasi interspesifik terjadi pada Eremaea. Spesiasi kini yang cepat, dikombinasikan dengan hibridisasi telah menghasilkan pola evolusi reticulate (tersusun dalam bentuk jaringan). Analisis filogenetik berdasarkan pada data allozyme umumnya konsisten dengan analisis yang didasarkan pada data morfologis kecuali pada penempatan E. purpurea dan E . Aff. Pauciflora (Coates dan Hnatiuk, 2005).
Sumber gambar: www.kew.org
0 comments:
Post a Comment